Pages

Sabtu, 31 Mei 2014

Untuk Seorang Gadis

I
Ku temui keindahan kala menatapmu
II
Dirimu adalah puisi, tertulis indah dalam buku berjudul Cinta.
Kini, buku itu kusampul dengan kertas putih bertuliskan Harap.
III
Kuungkap semua rasa cinta, yg tak sanggup ku ucap di hadapmu, dengan puisi.
IV
Hidup bersamamu laksana menyelami puisi.
Perlu meresapi semua kata
hingga aktualisasi
agar terasa indahnya.
V
Ku baca puisi itu berulang. Terungkap dalamnya rangkaian doa
VI
Kuterbangkan rindu yang megah hingga tinggi.
Berharap kau menyaksikan dan bergumam,
"aku pun sama"
22 Mei 2014

Yang Tersembunyi

Terduduk menatap langit
berharap turun keindahan
namun
hanya gulita
tanpa bintang ataupun bulan
semakin jauh menatap
semakin gulita terasa
tanpa bayan yang penuh harap
semua hanya hampa
telah lama ku terduduk
menatap penuh rindu
berharap bulan sedia tampak
dan siap kutitipkan rindu untukmu
kau puisi yang bayan
menerangi hati yang gulita
ku kubur semua bosan
hanya tuk menunggu hadirmu
sampai kapan kau bersembunyi?

Bujang

Tangan halus membelai mesra
di pipi
kening disapa bibir tipis
lembut
mata terus berpura terpejam
menikmati
hingga
kurasakan tangan dan bibir itu
dibawa menjauh
kucoba raih
namun hanya angin
terduduk lesu kala ku buka mata
tersadar
aku hanya sendiri
dalam luasnya padang gersang
21 Mei 2014

Bercerita Dengan Kawan

"Bro, lgi apa nih?"
"Nggk lihat nih lagi nongkrong!?"
"Wah .... Kelihatannya galau nih."
"Untuk apa galau Bro. Kata temanku, hidup itu penuh galau kalau dituruti. Yaaa, jadi untuk apa galau?"
"Ok. Ok. Terus napa tuh muka kelihatan sedih?"
"Hmmm. Emang kelihatan?"
"Langsung cerita aja lah Bro."
Tarik nafas, "entahlah. Apa yang kusedihkan, bingung."
"Lah itu namanya galau."
"Enggak Bro. Beneran deh."
"Lah. Trus?"
"Menunggu waktu memberi jawaban atas apa yang kuharapkan di masa depan."
"Sok puitis kamu Bro."
"Lantas, apalagi yang harus terucap? Sedang aku sendiri terjebak dalam labirin rasa."
"Wah. Pujangga dadakan dah nih."
"Aku bukan pujangga. Karena tak mampu bercerita indah tentang apa yang kini ku alami."
"Bro, Kamu kesurupan?"
"Jika dapat memilih, akan ku pilih kesurupan. Karena itu ada obatnya. Namun yang kini terasa, mungkin obatnya hanya waktu. Entah itu kapan."
Terdiam.
"Sungguh. Ku hanya berharap pada waktu dan langkah. Semoga waktu menghentikan langkah di detik yang penuh jawab akan harapku. Jika tidak, kuingin langkah terhenti di titik yang mampu menghapus bingung."
Semakin diam.
"Mungkin kau bertanya. Apakah itu kan menjadi akhir? Jawabannya, bukan. Karena pada jawab dan titik itu, berisi petunjuk tentang waktu dan langkah yang harus kutempuh."
Masih terdiam.
Ikut terdiam.
Tak ada suara.
"Entahlah. Tapi yang pasti, Tuhan lebih mengerti aku."
Masih tak ada tanggapan.
"Loh. Kamu malah tidur Bro."
Terkaget, "heeee, udah selesai baca puisinya?"
"Hmmmm. Bubar dah."

Tuhan, Katakan pada Mereka

Kuceritakan semua keluh kesah
Kususun indah dalam rentetan kata
Tapi mereka berkata,
aku pendusta.
Tuhan, kutanyakan pada-Mu
bukankah Kau yang mengirim dusta?
lalu mengapa Kau alamatkan ia padaku?
apakah Kau seperti mereka?
meragukan tiap kataku?
Tafakur aku di hadap-Mu
sadar bahwa Kau paling tahu segalanya
kuluapkan lagi keluh kesahku
tapi kali ini hanya pada-Mu
ampuni jika aku salah
maafkan aku telah marah
pada-Mu
aku bukan pendusta
maukah Kau katakan ini pada mereka?

Buku yang Berjudul Cinta

Membuka buku yang telah lama kugenggam.
Berbagai rasa yang disajikan, kuresapi.
Bahagia yang mengukir senyum,
hingga lara yang menumbuhkan sedih
bahkan tak jarang sampai ku menangis,
sendiri.
Sampai pada halaman akhir,
kembali kubuka dari awal.
Terus,
tak ada kata bosan.
Kesederhanaan yang dijadikan aura,
namun tak lepas dari istimewa.
Dibungkus indah dengan kejujuran,
bersandar penuh pada keikhlasan,
serta berlandas pada keyakinan.
Sungguh mempesona.
Buku yang berjudul, Cinta.
tiap lembar hanya berisikan
namamu, nama-Nya, dan aku.
Sidoarjo, 280414

Asyiknya Rajin Belajar dan Suka Berbagi

Ongki punya mainan baru, hadiah dari mama karena satu bulan ia tidak telat berangkat sekolah. Mainan itu jadi kesayangan Ongki, setiap bermain ke luar rumah selalu dibawa.
“Sal, coba lihat! Mainanku bagus kan?” Ongki memperlihatkan mainan Naruto pada teman akrabnya, Faisal.
“Hmmm, cuma itu. Aku punya dua di rumah. Ada Sasukenya lagi,” Isal tidak mau kalah sama Ongki.
“Bohong,” sahut Ongki singkat.
“Gak lah. Tunggu ya, aku ambil,” Isal berlari ke rumahnya.
Tak lama kemudian Isal kembali membawa mainan.
“Nah, punyaku lebih keren kan?” Pamer Isal ke Ongki.
Ongki merasa mainannya memang kalah keren dari pada milik Isal.
“Iya ya, kerenan mainanmu. Kita main yuk!”
“Males ah, nanti mainanku rusak. Lagian punyaku juga lebih bagus. Wekk,” jawab Isal sombong.
Ongki dan Isal sebenarnya suka main bersama. Tapi hari ini tidak. Ongki jadi sedih dan akhirnya pulang.
Sampai di rumah, Ongki melapor ke mamanya.
“Ma, Isal gak mau main sama Ongki. Kata Isal mainannya lebih bagus dari pada mainanku,” lapor Ongki.
“Terus, Ongki mau beli mainan lagi?” tanya mama.
“Mau banget Ma,” Ongki semangat mendengar tawaran mamanya.
“Tapi Ma. Ongki belum selesai baca buku yang kemarin. Kata Mama, Ongki dibelikan mainan lagi kalau sudah baca bukunya.” Ongki teringat janjinya sama Mama.
“Kalau gitu, sekarang Ongki makan dulu ya. Abis itu lanjutin baca bukunya. Gimana?”
“Siap Ma,” jawab Ongki semangat.
Setelah cuci kaki dan tangan, Ongki langsung duduk di meja makan dan siap melahap masakan mamanya. Meski merasa sangat lapar, Ongki tetap tidak lupa baca doa sebelum makan. Dia selalu ingat pesan mamanya, kalau setan suka menemani orang makan yang lupa baca doa.
Ongki akhirnya selesai makan. Seperti biasa, Ongki langsung membawa peralatan makanannya ke tempat pencucian piring. Setelah itu Ongki langsung pergi ke ruang keluarga untuk belajar. Mama hanya tersenyum melihat semangat Ongki yang masih sekolah TK, kelas B.
Di ruang keluarga, Ongki langsung membuka buku Belajar Membaca Jilid 3. Ia berusaha melanjutkan sisa halaman yang belum dibaca. Biasanya Ongki bertanya pada mama kalau ada kata-kata yang sulit.
Meskipun banyak kata-kata yang sulit, Ongki terus semangat. Setelah dua puluh menit Ongki akhirnya selesai. Mamanya yang dari tadi menemani, bangga melihat semangat belajar Ongki.
*****
Besok harinya.
Sepulang sekolah, Ongki melihat kotak di dalam kamarnya. Dia penasaran, kira-kira isi kotak itu apa ya? Setelah dibuka ternyata isinya buku cerita anak dan dua miniatur mobil balap. Ongki sangat senang mendapat hadiah itu. Saking senangnya, dia tidak sadar kalau mama memperhatikan dari depan pintu sejak tadi.
“Wahhh, Ongki dapat hadiah ya?” sapa Mama Ongki sambil menghampiri.
“Terima kasih ya Ma,” Ongki langsung memeluk Mama.
“Mama juga terima kasih sama Ongki. Karena Ongki sudah rajin belajar dan jadi anak yang nurut ama Mama.”
Ongki hanya tersenyum.
“Sekarang ganti baju dulu ya.”
“Siap Ma.”
Sesudah ganti baju, Ongki izin ke mamanya untuk pergi ke rumah Isal.
*****
“Isal, aku ada mainan baru loh. Narutoku sekarang punya mobil,” Ongki memperlihatkan mainan barunya pada Isal.
“Wih, keren ya. Aku belum punya mainan yang kayak gitu.”
“Kita main bareng ya. Aku punya dua nih,” Ongki meminjamkan Isal mobil-mobilan miliknya.
Mereka pun asyik bermain bersama. Tidak ada yang merasa minder lagi karena mainannya dianggap jelek.

Karena Kau Adalah Ibu

Tegarnya karang yang kau tunjukkan,
dijadikan panduan.
Cinta kasih yang kau beri,
dijadikan motivasi.
Terus berulang
bahkan tak kenal petang.
Namun,
waktu mengirim bosan,
dan kaupun tergoyahkan.
Karang yg tegar,
hancur.
Meski cinta kasih
tetap kau beri.
Ahhh.
Yang melihatmu kini, teriak.
Karena keindahanmu rusak.
Habis akal karena bosan
telah merusak keutuhan.
Anakmu?
Terus berdoa,
semoga kau temukan keindahan.
Cinta kasihmu,
takkan dihapus bosan.
Ia kan tetap membekas
meski dalam kesedihan
anakmu akan tetap jadi harapan.
Untukmu.
Di dunia maupun akhirat.
2 April 2014

Harap yang Tersimpan

Sungguh,
kehadiranmu penuh arti.
Mengisi bait puisi
yang sempat kosong.
Sungguh,
jika kau pinta aku
menerjang badai
untuk menemuimu,
aku sanggupi.
Sungguh,
hadirmu menumbuhkan rasa
yang tak ada bahasa
untuk menerangkannya.
Sungguh,
puisi yang terasa sempurna
karena hadirmu,
ku terbitkan dalam buku,
Harap, judulnya.
Tapi,
ini hanya luapan kata,
yang kujaga.
Tak ingin kau mengerti.

18 Maret 2014

Untuk Seorang Bunda yang Merasakan Bosan

Kau tunjukkan ketegaran
melebihi batu karang,
itu yang kau hadirkan pada anak kecilmu.
Tabahnya bumi kau tampakkan
dalam keseharian
Kau tampakkan terus pada anak kecilmu.
Laksana diamnya kepompong yang berujung indah,
Kau terus membawa ketenangan pada anak kecilmu
Pagi yang penuh cinta
selalu kau sajikan, walau anak kecilmu
menerima suara tinggi
tapi itulah cinta mu.
Matahari yang tepat di atas kepala
Kau sambut dengan kasih.
Bayangan yang memanjang ke arah timur
masih panjang lagi belaianmu.
Hingga gelap tiba
Kau sendiri,
membaringkan diri sembari menghimpun cinta
untuk anak kecilmu yang terlelap.
Terbangun di kehidupan lain
Kau tetap sabar dan tetap meluapkan rasa
cinta, kasih, sayang pada anakmu yang tidak lagi kecil.
Pagi cinta tetap kau hadirkan
meski kini kau suarakan dengan nada lebih tinggi
Hingga,
Kau yang sendiri dalam malam
harus benar merasa sendiri
karena anakmu yang tidak lagi kecil
pergi, mencicipi manis kecut kehidupan
Kau tetap menggambarkan
tegarnya karang,
Kau tetap menampakkan
tabahnya bumi,
dan diammu tetap
Laksana diamnya kepompong.
“Tidakkah kau merindu anakku?”
Kata itu kau tujukan pada anakmu yang tidak lagi kecil
“haruskah rindu aku perlihatkan Bunda?”
Kau terima kata itu.
Dan, kau kembali diam
Mungkin kali ini, kau teteskan air mata.
Hingga,
Kesendirianmu di tiap malam,
Menggoyahkan batu karang,
Mengguncangkan bumi,
Dan kepompong pun jatuh, belum sempat menemukan keindahan.
Anakmu yang tidak lagi kecil
Terdiam, seperti yang sering ia lihat darimu.
Ia hanya mencoba tegar seperti dirimu.
Mencoba merasakan betapa pedih menahan ketabahan.
Dari kejauhan,
Anakmu yang tidak lagi kecil
Mendengar kabar,
Kau telah berubah.
Kau tak lagi menggambarkan kerasnya karang.
Karena malam yang kau lalui terus sendiri.
Kau tak menampakkan lagi tabahnya bumi.
Karena dalam sakitmu di malam hari, kau tetap sendiri.
Diamnya kepompong kau bunuh,
Dan Kau ganti dengan buasnya singa betina.
Anakmu yang tidak lagi kecil,
Mengerti betapa kejamnya malam dan hari yang kau rasa.
Dan dari kejauhan anakmu hanya mampu menghimpun
Ketegaran, ketabahan seperti yang kau dulu ajarkan.
Anakmu Tak habis pikir,
Kau bakar semua ajaran tentang karang, bumi dan kepompong.
Setelah itu, kau pergi.
Anakmu yang tidak lagi kecil,
Mengerti betapa kejamnya malam dan hari yang kau rasa.
Tapi kenapa Bunda?
Kenapa kau pergi hanya karena malam yang kau lalui selalu sendiri?
Ataukah kau lelah berbagi cinta, kasih dan sayang sendirian?
Ataukah ada yang lain?
Anakmu yang tidak lagi kecil, menunggu jawaban sebenarnya.
Dan kini, anakmu yang bertanya,
“Tidakkah kau merindu Bunda?”

6 Maret 2014

Dia yang Kaudamba

Kau anggap ia titisan putri.
"Lagu paling indah adalah namanya," itu katamu.
Hingga tak henti kau lantunkan lagu indahmu.
Nasibmu yang mengharap putri.
Terkekang,
karna bibirmu kelu saat berhadapan dengannya.


5 Februari 2014

Kokoh pada Kebosanan

Berkata padanya,
serasa membujuk lautan berhenti berombak.
Dia telah menepis semua kemungkinan indah,
hanya karena satu kata.
Bosan.
2 Februari 2014

Terjadi dan Berharap

Ketika bendera perang berkibar,
kau maelarikan diri.
Bukankah pernah kupesan padamu?
Jangan kau tuang bensin pada api kecil itu.
Tapi kau,
Bukan hanya bensin yang kau siramkan,
kau juga menambah percik api disekitarmu.
Kini, Bendera perang telah berkibar.
Api yang terlanjur membara,
tak menunjukkan akan padam.
Dan kau, tak ingin kembali,
karena takut akan terbakar api yang kau kobarkan.
Akhirnya.
Terduduk aku memeluk lutut.
Inginku bertemu denganmu.
Tapi entah kapan.
Kau makin pergi menjauh,
membawa serta dua harapan kecil.
Kuharap, kau berhasil merawat dua harapan kecil
menjadi dua harapan yang lebih besar.
Dua harapan itu, harus lebih baik dari semua.
Kata akhir yang jadi harapan.
Kembalilah.
Sidoarjo, 281213

(Belum Ada Judul)

Merangkai goresan kelam agar menjadi lukisan berharga.
Namun kelam yang disusun menyatu dalam kegelapan.
Belum tercipta lukisan berharga,
bahkan mungkin tak akan tercipta,
karena kelam yang telah dirangkai kembali hancur berantakan.
Hingga terpisah dari rangkaian.
Terpisah karena melepaskan diri.
Ya, melepaskan diri dari segalanya.
(Mungkin, tak dapat ku kembali)

Desember 27, 2013

(Belum Ada Judul)

Di tanah rantau, sendiri menyimpan juta kenangan tentang kita.
Indah, begitu kuberikan nama pada kenangan kita.
Gelapnya langit tak dapat menggelapkan ingatanku.
Malam itu habis kulalui hanya untuk membuka lagi buku-buku.
Coretanmu dulu, masih setia menambah cerita di buku itu.
Buku-buku cerita cinta,
tapi bukan isi cerita buku itu yang kurasakan penuh cinta,
Sampul Bening yang membungkus buku itulah yang penuh cinta.
Kau mungkin tak tahu,
jika sampul yang kau buat untuk menjaga kerapian buku
ikut menjaga kerapian hatiku padamu.
Aku mungkin sedikit gila,
terlalu kuat menyimpan kenangan antara kita.
Bahkan hanya karena sampul buku darimu.
(Sidoarjo, 09 Desember 2012)

Hanya Namaku, Hanya Aku

Kurasakan kerukunan dalam canda tawa
namun itu dulu
dan telah terkikis oleh arus waktu.
Kini kurasakan amarah dalam kebencian.
Kuyakin mereka semua memendam rasa yang sama.
Tapi mereka tetap menaruh simpati.
Simpati yang lahir karena adanya ikatan garis keturunan.
Aku mencoba berlari,
Aku mencoba membenci,
dan Aku mencoba membunuh,
hingga akupun terbunuh
dan terhapus dari jalinan yang ada.
Bahkan akupun akan tersenyum ketika yang kutinggalkan hanya namaku,
hanya namaku, hanya aku, tidak terkait orang sekitarku.
Kumpulan rasa ini semakin menguat dalam
kebencian yang terjaga waktu hingga kini.

Menjauh Hingga Menghilang

Allah Maha Pandai mengatur kehidupan.
Di malam ini,
yang dulu menjauh resmi menghilang.
Di malam ini,
yang selalu kunanti resmi tak pulang.
Di malam ini,
satu nama yang kusimpan dihati
harus ku pindahkan dalam satu wadah
yang akan tertutup rapat dan ada di tempat tinggi
wadah yang kita kenal dengan kenangan.
Untukmu,
aku berterima kasih atas apa yang dulu kita jalani.
REWWIN, 23 Oktober 2013

Luka yang Ku Ukir

Maaf,
Maaf bukanlah pengobat luka,
bukan pula penambal ampuh dari tiap kesalahan.
Namun inilah kenyataan,
kenyataan yang membuat lidahku beku,
hingga hanya maaf yang dapat terlontar.
Jubah putih yang kukenakan
spontan menjadi hitam bercampur bau busuk
yang kuat menyengat
dan berpencar
menghampiri setiap rumah.
entah bagaimana suara yang mereka dengar
hingga luka yang ku ukir selalu hadir dalam langkahku,
mengiringi langkahku
dan seakan membimbingku untuk berdiam diri
menjauhi rumah-rumah yang telah diketuknya.
Dalam kebimbangan
akupun berlari tak tahu kapan akan kembali
REWWIN, 30 September 2013

Ketika Mengingat Cinta Orangtuaku

Aku terlahir karena cinta,
bahkan dengan cinta aku hidup hingga kini.
Cinta Ayah dan Bundaku
Demi cinta mereka,
aku ingin menaklukkan kesusahan,
akan kurangkai dunia yang penuh kesejukan
untuk menghentikan keringat keduanya
yang selama ini terus berjatuhan.
Ingin kubalas semua rasa cinta mereka,
namun, mereka hanya tersenyum.
Dan hanya dengan senyuman itu,
besarnya cintaku langsung tertunduk,
malu,
hingga tersadar,
semua ungkapan cintaku
tak dapat menandingi cinta keduanya,
walaupun hanya sebuah senyum cinta.

22 Sept 2013